Sabtu, 30 Juni 2012

Setiap aksi selalu ada reaksi, siapa yang menanam benih, pada suatu saat akan menuai buah akibat penanaman benihnya. Benih padi akan panen setelah 4 bulan. Benih buah mangga akan panen setelah 6 tahun. Benih pohon jati akan panen setelah 25-50 tahun. Ada aksi yang reaksinya kembali dengan cepat dan ada aksi yang reaksinya menunggu matang dan dalam waktu lama baru reaksinya kembali. Setiap ucapan dan tindakan kita adalah benih yang telah kita tanam, hanya kita tidak tahu kapan hasil panen dari penanaman benih tersebut. Apabila ada orang yang menghina kita, melecehkan kita atau membuat kita marah, kita cukup berkata bahwa “aku tidak senang dengan tindakanmu!” Tindakan tidak menyenangkan itu harus ditanggapi agar dia tidak melakukan hal yang sama kepada kita dan orang lain, akan tetapi kita tidak perlu membalas dengan cara yang sama. Mungkin saja dahulu kita pernah berbuat demikian kepada orang lain dan kini akibatnya telah datang. Membalas menghina dan melecehkan balik akan membuat kita membuat benih aksi baru yang pada suatu kali akan datang akibat kepada kita kembali. Memukuli bantal ternyata mampu meredam emosi kemarahan kita, sehingga kita tetap berpikir jernih, kita tetap bertindak meditatif.
Pada waktu latihan ketiga Neo Self Empowerment, kita dilatih mengeluarkan tumpukan kegelisahan yang ada di dalam diri. Sebuah peristiwa tidak disimpan hanya memori peristiwanya saja, akan tetapi emosi yang menyertai peristiwa tersebut akan kita simpan juga. Kita kadang ingin marah karena boss tidak adil, tetapi demi etika kita diam, tetapi emosi kegelisahan kita simpan. Kita tidak cocok dengan tindakan orang tua, tetapi mengikuti petunjuk anak yang saleh kita diam, dan kekecewaan tersebut kita simpan dalam hati. Kita pernah mengalami trauma yang hebat, tetapi karena menjaga nama baik kita, kita diam sehingga trauma tersebut kita simpan. Itulah sebabnya semakin tua, tumpukan kegelisahan tersebut semakin banyak dan tunggu meledaknya saja. Bila kita menahan diri agar tidak meledak, maka tumpukan kegelisahan tersebut akan merusak organ dalam diri kita. Anak-anak kecil dan remaja punya jalan keluar misalnya dengan berlari sekencang-kencangmya, atau berteriak-berteriak kala naik jet coster, atau berteriak dengan teman sebaya di pantai atau di jalan setapak di lereng gunung. Tetapi kita tidak terbiasa mengeluarkan emosi kegelisahan, karena emosi tersebut kita yakini dapat melukai orang lain. Dengan latihan Voice Culturing, secara sistematis kita dapat mengeluarkan sebagian sampah-sampah kegelisahan di dalam diri. Dan, setelah selesai semua peserta mengalami kelegaan yang luar biasa. Silakan membaca buku “Seni Memberdaya Diri 1, Meditasi Untuk Manajemen Stres dan Neo Zen Reiki”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2003.


Di rumah kita tidak bisa melakukan latihan tersebut, akan tetapi dalam buku “Bersama J.P Vaswani Hidup Damai & Ceria”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2002 disampaikan cara alternatif…… Duduk santai di ranjang atau di tempat lain. Carilah posisi duduk yang paling nyaman. Yang penting Anda harus menghadapi cermin dan tersedia bantal di situ. Langkah pertama, mata di pejamkan dan bernafas cepat lewat hidung ­ nafas pendek, hanya sampai dada. Lakukan 9 kali­sembilan kali penarikan dan pengeleluaran nafas. Langkah Kedua: Mulai memukul bantal, dan sambil memukul bantal itu, keluarkan uneg-uneg Anda. Apabila Anda benci seseorang, banyangkan seolah-olah Anda sedang memukul orang itu. Keluarkan amarah yang terpendam, emosi yang selama ini tertekan dalam diri Anda. Lakukan selama kurang lebih selama 10 menit. Langkah Ketiga: Pelan-pelan bukalah mata Anda dan lihatlah cermin di depan Anda­seperti sedang bercermin. Jadilah seperti seorang anak kecil, membuat wajah-wajah lucu. Lakukan selama kurang lebih 10 menit, dan Anda akan merasakan kelegaan yang luar biasa. Setelah itu, kembali pejamkan mata Anda lagi. Dan, seterusnya silakan lihat buku “Bersama J.P Vaswani Hidup Damai & Ceria”, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Seorang teman berlatih bersama, Rahmad Darmawan (http://www.facebook.com/profile.php?id=1819246698) berkomentar, dengan mukuli bantal kita terhindar dari melakukan karma buruk…… Setelah direnungkan sebentar, benar juga pendapat teman latihan kami tersebut……
Bila kita mengalami penghinaan atau tindakan yang tidak menyenangkan dari orang lain yang membuat kita marah, dan kita secara reaktif membalasnya, maka kita akan melakukan tindakan baru yang tidak menyenangkan orang juga. Padahal bila kita mau “pause” sejenak, kita bisa berpikir bahwa mungkin saja kita pernah berbuat hal seperti tersebut dan kali ini akibatnya menimpa kita. Oleh karena itu tidak perlu membalas, cukup mengungkapkan ketidaksenangan kita dan menyingkir saja. Pulang ke rumah dan emosi kemarahan kita keluarkan dengan mumukuli bantal…… Setelah kegelisahan, kemarahan, frustasi keluar, kita tidak ingin membalas terhadap orang yang menyakiti atau membuat marah kita. Dengan demikian kita tidak terlibat terhadap karma baru marah kepada orang lain. Apakah dia yang menyakiti kita akan menerima karma, sudah semestinya karena hukum alam berjalan sangat rapi, tetapi tidak perlu kita yang melakukannya sendiri.
Bagaimana caranya agar kita dapat mengendalikan diri sewaktu menghadapi seseorang yang membuat kita marah, agar kita tidak melakukan reaksi yang sama? Pertama kita perlu melatih diri, dan kedua kita perlu mengetahui dasar-dasar karma…
Pertama Praarabdha Karma, karma yang muncul pada kehidupan ini, ibarat panah yang sudah diluncurkan tak dapat ditarik kembali, sehingga pasti terjadi, inilah yang disebut takdir. Akan tetapi bila ada angin kencang bertiup, panah akan melenceng. Angin inilah grace, rahmad karunia dari Keberadaan. Bagaimana caranya? Silakan ikuti program Cutting Karma Bindings oleh Bapak Anand Krishna.
Kedua Sanchita Karma, karma yang belum matang, ibaratnya adalah anak panah yang masih berada dalam sarungnya.
Ketiga Aagami karma, pilihan melakukan karma, ibaratnya kita sudah tidak mau jadi pemburu lagi. Sudah cukup balas membalas. Kita hidup baru dengan penuh kesadaran. Kita tinggal menjalani sisa-sisa karma yang akan datang kepada kita.
Ada hal penting yang dilakukan agar kita menghadapi karma yang datang dengan penuh kesadaran. Diantaranya adalah sebanyak mungkin kita melakukan good karma, karma yoga, berbuat baik melayani orang lain atau alam semesta bukan demi kepentingan pribadi. Good karma dan mantra/japa/zikr dapat menyebabkan kita menerima rahmad, grace dari Keberadaan, Bunda Alam Semesta atau sebutan apapun bagi Yang Maha Kuasa, sehingga kita dipayungi dalam menjalankan karma ataupun kita menerima dengan besaran yang lebih kecil….. Semoga.
Untuk lebih jelasnya silakan ikuti Program Neo Self Empowerment yang dilakukan Anand Ashram di berbagai Anand Krishna Center.
Salah satu program e-learning dari One Earth College (http://www.oneearthcollege.com/) adalah Neo Interfaith Studies (http://interfaith.oneearthcollege.com/) yang mempunyai tujuan agar para peserta program dapat memberikan apresiasi terhadap keyakinan yang berbeda. Kemudian ada program Ancient Indonesian History And Culture (http://history.oneearthcollege.com/) agar para peserta program dapat mengetahui dan menghargai sejarah awal Kepulauan Nusantara. Dan ada lagi program Neo Transpersonal Psychology (http://stponline.oneearthcollege.com/) yang membahas tentang peningkatan kesadaran dari keadaan personal, ego-based menuju keadaan transpersonal, integensia-based sehingga kita dapat bekerja tanpa pamrih pribadi.

Senin, 25 Juni 2012

kehakikian menunaikan haji

Pemaknaan ritual haji yang membingungkan.
Pengalaman pergi haji tahun 2001 menjadikan diri saya sadar bahwa ada sesuatu yang aneh.
Saat di padang  Arofah, saat wukuf ada tiga (3) larangan yang masih saya ingat:
  • Dilarang menyakiti atau bertengkar dengan sesama jamaah. Bahkan mesti meniminalis berbicara. Perbanyak berdzikir
  • Dilarang memotong atau mematahkan ranting pohon
  • Dilarang membunuh hewan
Setelah dari Arofah dilanjutkan perjalanan ke Mina. Semestinya, menurut saya, ke tiga larangan ini berlaku terus, tidak hanya saat di Arofah. Jika ini bisa kita pegang dan dilakoni dalam keseharian, adalah keniscayaan menjadikan diri haji makbrur. Sayang sekali, manusia sering melakukan kelalaian setelahnya….
Yang aneh bagi saya adalah, mengapa setelah itu ada pemotongan hewan kurban? Saya yakin pasti ada yang menyangkal, itu kan sudah hukum untuk memotong hewan. Lha di padang Arofah kita dilarang membunuh hewan, mengapa setelah itu diperintahkan memotong hewan. Bukan kah ini bertentangan. Apakah hanya di pada Arofah ketentuan itu berlaku? Jika ini benar, lantas apa artinya pelarangan pembunuhan hewan di Arofah?
Jika saja saudara-saudara kita yang pergi haji bisa melakukan dan menerapkan ke tiga larangan itu seusai di Arofah, wah pasti tercapai apa yang diwariskan Baginda Rasulullah SAW. Rahmattan lil alamin.
Ke tiga larangan merupakan adab kita tetamu Allah. Bukankah kita di bumi ini sementara? Kita hanya tamu di bumi ini. Jadi menurut pemahaman saya, ritual haji adalah pengingat bahwa sesungguhnyalah kita ini tamu Allah. Allah lah pemilik bumi. So, sebagai tetamu kita jangan merusak. Tapi harus mampu melestarikan segala sesuatu yang kita pergunakan di bumi ini. Ibaratnya kita tinggal di hotel. Sebagai tamu hotel, janganlah kita merusak barang-barang hotel dan membawa pergi.
Ingat kisah seorang di saat Baginda Rasul masih ada. Terdapat seorang umat yang ingin pergi haji. Setelah menabung lama sekali dan uangnya terkumpul untuk pergi ke tanah suci, tiba-tiba kedatangan seorang teman. Kedatangan teman tersebut berniat minta bantuan uang untuk biaya pengobatan ibunya. Saudara kita yang sudah menabung tersebut bersedia memberikan uang hasil tabungan berhaji untuk biaya pengobatan si teman. Ketika hal ini di dengar Baginda Rasul SAW, langsung beliau bersabda: “Si fulan telah memperoleh haji makbrur….” Ternyata bagi Baginda Rasul yang dimaksud haji makbrur adalah terjadinya perubahan sifat. Menjadi orang yang lebih mementingkan sesama yang sedang tertimpa musibah daripada untuk kepentingan diri sendiri.
Masih dari cerita yang indah. Suatu saat ketika Baginda Rasul sedang berjalan bersama para sahabat melihat begitu banyak yang berhaji, salah satu dari sahabat berkata: ” Luar biasa Baginda Rasul, begitu banyak yang menunaikan ibadah haji. Wah semua calon penghuni surga…” Dengan tersenyum lembut penuh kasih, Baginda Rasul menjawab: “Coba tutup matamu…” Dan Baginda Rasul pun mengusapkan tangan beliau ke wajah sahabat tersebut.”Nah sekarang buka matamu dan apa yang kau lihat?” Begitu mata terbuka, terkejutlah sahabat nabi tersebut. Apa gerangan yang dilihat? Sahabat nabi melihat banyak hewan berkaki empat sedang mengelilingi Kaabah. Itulah sifat manusia yang ada di sekitar Kaabah yang sedang thawaf. Baginda Rasulpun bersabda: “Itulah sifat manusia-manusia yang sedang berhaji. Sesungguhnya hanya sedikit yang bisa dikatakan haji makbrur…”
Seperti inikah keadaan kita? Jadi haji TOMAT. Di sana tobat disini kumat.. Bukan haji makbrur, manusia yang sudah berubah mentalitasnya…
Dalam mengelilingi Kaabah saja, saya kira sedikit yang memaknai makna keliling secara berlawanan dengan arah jarum jam. Ketika kita membuka sekrup, kita melakukannya ke arah berlawanan putaran jarum jam. Artinya kita melakukan gerakkan yang melepaskan keterikatan terhadap duniawi. Putaran searah jarum jamadalah putaran yang melekatkan ke duniawian. Ketika kita mengencangkan sekerup, arahnya ke kanan. Berarti semakin kencang terikat ke bumi atau duniawi…. Jadi makna berhaji adalah melepaskan keterikatan jiwa terhadap duniawi. Memiliki tetap boleh tetapi tidak lagi terikat dengan harta benda.
Tidak terikat bukan berarti membuang secara harfiah, tetapi tetap mencari dan mengumpulkan harta duniawi, hanya pikiran tidak lagi dipenuhi nafsu untuk menikmatinya. Badan di dunia, pikiran di akherat…. Inilah yang disebut men-spiritualkan pekerjaan atau mencahari nafkah…
Selamat men-spiritualkan semua kegiatan kita demi kemuliaan jiwa…

Rabu, 20 Juni 2012

memperbanyak silaturrahmi

Silaturrahmi berasal dari bahasa Arab صلة الرحم, artinya hubungan kasih sayang. Secara terminologi berarti hubungan horizontal antar sesama manusia yang berlandaskan kasih sayang serta bersumberkan dari sifat Allah Swt. الرحيم , الرحمن. Dalam implementasinya biasa disebut rahmat. Dengan demikian silaturrahmi adalah hubungan yang tidak mengandung unsur pamrih dan kepentingan, baik kepentingan pribadi, golongan dan kepentingan duniawi lainnya.
Menurut Syekh Musthafa Masyhur dalam buku Fiqh Dakwah, silaturrahmi harus didasari dengan iman dan ukhuwah islamiyah. Dalam salah satu hadits Rasulullah Saw. menjelaskan sebagai berikut:
من كان يؤمن بالله واليوم الاخر فليصل رحمه (متفقن عليه)
Artinya: Siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat hendaklah ia menyambung dan menghubungkan kasih sayang.
Dalam Islam orang mukmin itu pada dasarnya adalah satu dan bersaudara, tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya dengan alasan apapun. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. sebagai berikut:
انما المؤمنون اخوة فاصلحوا بين اخويكم (الحجرات: 10)
Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka perbaikilah olehmu hubungan persaudaraan di antaramu.
Pertemuan dan persaudaraan yang didasari atas iman dan ukhuwah islamiyah tidak akan pernah putus dan berhenti. Sebaliknya teman dan sahabat yang berlatar belakang kepentingan dan pamrih tentu juga akan berakhir ketika kepentingan dan pamrih itu habis pula.
Islam menyuruh umatnay memperbanyak silaturrahmi dengan siapapun dan dimanapun. Sebab dalam kehidupan keseharian, setiap individu selalu membutuhkan orang lain dan tidak bisa hidup sendiri. Justru itu kita harus memperbanyak teman dan sahabat dengan tulus dan ikhlas karena Allah. Semua itu akan menyebabkan hidup terasa mudah. Sekalipun manusia selagi masih hidup akan tetap punya masalah, masalah tersebut dengan mudah akan dapat ditemukan jalan keluarnya. Bahkan, bila dalam persahabatan dimaksud seseorang banyak memberikan kontribusi positif, maka ia tetap akan tetap dikenang dalam ingatan (memori) orang banyak, sekalipun ia sudah meninggal dunia.
Rasulullah Saw. bersabda:
من احب ان يـبسط له فى رزقه وينسأ له فى اثره فليصل رحمه (متفقن عليه)
Artinya: Siapa yang ingin dimudahkan rezkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaklah ia memperbanyak melakukan silaturrahmi.
Dalam menjaga dan melestarikan persahabatan, Islam memberikan beberapa petunjuk, antara lain:
1. Saling menghormati dan menghargai
Suasana antara kita harus bersifat saling menghormati dan menghargai, tidak boleh saling menyombongkan diri dan mencari-cari kelemahan teman dan sahabat. Penghormatan dan penghargaan itu didasarkan pada keikhlasan semata-mata karena Allah Swt. Antara pribadi yang satu dengan yang lainnya harus sama-sama menyadari bahwa memelihara suasana demikian merupakan ibadah guna mendekatkan diri kepada Allah Swt.
ارحموا من فى الارض يرحمكم من فى السماء
Sayangilah yang di bumi, maka yang di langit akan menyayangimu.
2. Saling mempercayai dan berbaik sangka
Suasana saling mempercayai, tidak saling mencurigai dan selalu berbaik sangka antara sesama merupakan persoalan asasi untuk memastikan kebaikan dalam kebersamaan. Suasana ini tentu akan melahirkan iklim kerjasama yang baik dalam melaksanakan aktifitas sehari-hari. Sebagaimana Allah Swt. berfirman:
يأيها الذين امنوا إجـتـنبوا كثيرا من الظن ان بعض الظن اثم (الحجرات : 12)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka. Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa.
3. Saling menasehati
Kita adalah manusia yang mempunyai kekurangan dan kelebihan. Sesama kita wajib saling menasehati tentang kebenaran (dengan cara yang benar dan waktu yang tepat) dan saling menasehati tentang kesabaran. Bila tidak demikian tentu manusia akan terjerumus ke dalam kesesatan (kerugian). Firman Allah Swt.:
وتواصو بالحق وتواصو بالصبر
Artinya: Dan hendaklah kamu saling menasehati tentang kebenaran dan saling menasehati tentang kesabaran.
Sebuah hadits yang sangat populer menjelaskan bahwa “agama itu adalah nasehat”. Sehubungan dengan itu kita perlu memelihara dan menjaga adab memberi nasehat, ketepatan memilih suasana dan waktu serta cara yang baik dalam memberi nasehat.
Panduan dalam memberi nasehat dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Berikanlah nasehat dalam bentuk yang paling baik dan terimalah nasehat dengan hati yang terbuka (lapang).
b. Barang siapa yang menasehati saudaranya secara diam-diam, berarti dia telah memperbaiki sekaligus menghormatinya. Barang siapa yang memberi nasehat dengan terang-terangan di hadapan orang banyak, maka berarti dia telah menghinanya.
4. Saling mencintai
Cinta karena Allah merupakan dasar utama dari persaudaraan. Cinta harus diwujudkan di dalam setiap pribadi karena ia merupakan persoalan mendasar dalam bangunan persaudaraan. Rasa cinta dan kasih sayang antar sesama harus selalu dikembangkan dengan cara:
 Membudayakan salam
 Perkataan dan tutur kata yang lemah-lembut
 Membersihkan hati dari sifat-sifat tercela
 Mudah senyum dan ramah
 Saling mengunjungi
 Saling memaafkan
Dari beberapa uraian tentang memperbanyak silaturrahmi sebagaimana dikemukakan, maka dapat diambil sebuah catatan penting bahwa silaturrahmi merupakan intisari ajaran Islam yang dapat menjadi dasar kokohnya bangunan ukhuwah islamiyah. Oleh karena itu sebagai seorang muslim kita wajib mempertautkan hubungan silaturrahmi yang didasarkan atas cinta dan kasih sayang karena Allah Swt.
Wallahu a’lam bissawab

Al-Hallaj: Ana al-Haq (Bagian 2)

Al-Hallaj: Ana al-Haq (Bagian 2)

By admin on February 12, 2012

Bagian Pertama Kisah Al-Hallaj

Menurut Al-Hallaj, Allah SWT menciptakan menusia menurut bentuk-Nya, dalam pengertian bahwa, kendati manusia adalah makhluk dan bukan Tuhan, manusia mempunyai tabiat kemanusiaan  yang menyerupai tabiat ketuhanan Allah SWT. Dengan kata lain, tabiat kemanusiaan adalah tabiat ke-Tuhan-an yang tidak sempurna, sedangkan tabiat ketuhanan Allah SWT Maha Sempurna, suci dari kekurangan. Banyak sufi se zamannya yang berbicara seperti itu, misalnya Syekh As-Syibli, yang bahkan dianggap gila. Lain halnya dengan AL-Hallaj, ia tidak dianggap gila, tapi orang waras yang bijak.

    Banyak kisah menarik di sekitar Al-Hallaj, terutama pergaulannya dengan Junaid Al-Bagdadi. Pada suatu hari Syekh Junaid berkata, “Hai, Mansur (Al-Hallaj) tak lama lagi suatu titik dari sebilah papan akan diwarnai oleh darahmu!” maka sahut Al-Hallaj, “Benar, tapi engkau juga akan melemparkan pakaian kesufianmu dan mengenakan pakaian Maulwi Ana Al-Haq.”  Dan ternyata dua ramalan itu menjadi kenyataan. Pada suatu hari Al-Hallaj benar-benar dirangsang oleh “Api cinta Ilahiyah” dan kembali meneriakkan “Ana al-Haq” tanpa henti.

Para guru dan teman-temannya seperti Syekh Junaid dan As-Syibli, menasihati dia agar menahan diri. Namun ia tidak mempan oleh teguran itu. Al-Hallaj terus saja mengulang seruannya, “Ana Al-Haq,” setiap saat. Gara-gara itulah, kaum ulama syariat bangkit melawan Al-Hallaj, didukung oleh Hamid bin Abbas, Perdana Menteri Irak. Dan akhirnya keluarlah “Fatwa Kufur”, yang menyatakan bahwa Al-Hallaj melanggar ketentuan agama dan dapat dihukum mati.

Tapi ketika hukuman itu disampaikan untuk mendapat persetujuan Khalifah Muqtadir Billah menolaknya, kecuali fatwa tersebut di tanda tangani oleh Syekh Junaid Al-Bagdadi, maka Khalifah Muqtadir pun mengirimkan fatwa itu kepada Syekh Junaid – sampai enam kali. Pada kiriman yang ke tujuh, Syekh Junaid membuang pakaian kesufiannya lalu memakai pakaian keulamaan. Setelah itu ia menulis pada surat jawaban: menurut hukum syariat, Al-Hallaj dapat di jatuhi hukuman mati, tapi menurut ajaran rahasia kebenaran, Allah Maha Tahu!.

    Maka Al-Hallaj pun ditangkap pada tahun 913 M / 309 H. ia ditahan dan dijebloskan kedalam penjara. Para ulama pro pemerintah menuduhnya sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang tidak sesuai dengan syariat. Bahkan ia dituduh berkomplot dengan kelompok perusuh Qaramithah yang mengancam kedaulatan Bani Abbasiyah. Maka Al-Hallaj pun dihukum mati dengan cara disalib.

Saat mereka membawa Al-Hallaj ke tiang gantungan di Bab al-Taq, ia mencium kayunya dan menaiki tangganya sendiri.

“Bagaimana perasaanmu?” Tanya mereka.

“Mi’rajnya seorang kasatria adalah di tiang gantungan,” jawabnya.

Ia mengenakan celana sebatas pinggang dan mantel di bahunya. Sambil menghadap ke arah kiblat, ia menengadahkan kedua tangannya dan mulai bercengkrama dengan Allah.

“Apa yang diketahui-Nya, tak seorang pun mengetahuinya,” katanya. Lalu ia pun naik ke tiang gantungan.

Sekelompok orang pengikutnya bertanya, “Bagaimana menurutmu, mengenai kami yang merupakan para pengikutmu, dan mengenai mereka, yang hendak merajammu?”

“Mereka mendapat dua pahala, sedangkan kalian satu,” jawabnya. Kalian hanya berprasangka baik padaku, sedangkan mereka digerakkan oleh kekuatan keimanan terhadap Allah untuk menjaga kelurusan hukum-Nya.”

Kemudian As-Syibli mendekat dan berdiri di hadapannya sambil berkata, “Bukankah kami telah melarangmu dari (melindungi) manusia?” pekiknya. Lalu ia bertanya, “Wahai Al-Hallaj, apa itu sufisme?”

Al-Hallaj menjawab, “Yang engkau lihat ini adalah derajat terendahnya.”

“Lalu apa yang lebih tinggi daripada ini?” tanya As-Syibli.

“Yang tak dapat engkau capai,” jawab Al-Hallaj.

Orang-orang mulai melempari Al-Hallaj dengan batu. Sedangkan As-Syibli, demi menyesuaikan diri, melempar segumpal tanah. Al-Hallaj merintih.

Mereka bertanya, “Engkau tidak merintih saat dilempar dengan batu-batu itu. Tapi mengapa engkau merintih sewaktu terkena lemparan segumpal tanah?”

“Karena mereka yang melemparku dengan batu tidak mengetahui apa yang mereka lakukan. Mereka punya alasan. Sedangkan ia yang melempar gumpalan tanah itu, ia mengetahui bahwasanya tidak seharusnya ia melakukan itu kepadaku. Itulah yang menyakitkanku.”

Kemudian mereka memenggal kedua tangannya, Al-Hallaj pun tertawa.

“Mengapa engkau tertawa?” pekik mereka.

“Sungguh mudah memenggal kedua tangan orang seseorang yang terbelenggu,” jawabnya. “Namun dibutuhkan seorang kasatria untuk memenggal tangan-tangan segenap sifat yang melepaskan mahkota cita-cita dari dahi-Nya.”

Mereka memotong kedua kakinya. Ia pun tersenyum.

“Dengan kedua kaki ini, aku melakukan perjalanan duniawi,” katanya. “Dengan dua kaki lainnya yang kupunya, aku bahkan bisa berjalan di dua alam (dunia dan akhirat). Jika kalian mampu, potonglah kedua kaki itu!”

Lalu ia mengusapkan kedua tangannya yang bunting ke wajahnya, sehingga lengan dan wajahnya berlumuran darah.

Mereka bertanya, “Mengapa engkau melakukan itu?”

“Aku telah kehilangan banyak darah,” jawabnya. “Aku sadar bahwa wajahku telah memucat. Kalian menyangka bahwa pucatnya wajahku disebabkan oleh ketakutanku. Maka kuusapkan darah ke wajahku agar pipiku tampak semerah mawar di mata kalian. Riasan para ksatria adalah darah mereka.”

“Lalu mengapa engkau juga melumuri lenganmu dengan darah?”

“Aku tengah berwudlu.”

“Wudlu untuk apa?”

“Saat seseorang hendak mendirikan shalat dua rakaat dalam cinta,” jawab Al-Hallaj. “Wudlunya belum sempurna bila tidak dilakukan dengan darah.”

Kemudian mereka mencungkil kedua bola matanya. Raungan terdengar di antara kerumunan orang. Sebagian menangis, sebagian melempar batu. Lalu mereka hendak memotong lidahnya.

“Sabarlah sedikit, beri aku waktu untuk mengutarakan sepatah-dua patah kata,” ujarnya. “Ya Allah, pekiknya sambil menengadahkan wajahnya ke langit. “Janganlah engkau usir mereka dari haribaan-Mu lantaran apa yang mereka lakukan padaku karena Engkau. Jangan pula Engkau cabut kebahagiaan ini dari mereka. Segala puji bagi Allah, karena mereka memotong kedua kakiku saat aku tengah meniti jalan-Mu. Dan jika mereka memenggal kepalaku, sungguh mereka telah mengangkatku ke tiang gantungan, merenungkan keagungan-Mu.”

    Sebelum dihukum mati, ia shalat dan berdoa, “Ya Allah, mereka adalah hamba yang berhimpun untuk membunuhku, karena fanatik kepada agama-Mu dan hendak mendekatkan diri kepada-Mu. Maka ampunilah dan berilah rahmat kepada mereka. Karena jika engkau membuka hati mereka, seperti engkau membuka hatiku, mereka tidak akan melakukan seperti yang sedang mereka lakukan terhadapku. Dan jika engkau tutup hatiku seperti engkau menutup hati mereka, niscaya aku tidak akan diperlakukan seperti ini.”

Kemudian mereka memotong daun telinga dan hidungnya. Seorang yang membawa kendi kebetulan hadir di sana. Melihat Al-Hallaj, ia memekik, “Penggal, penggal dengan keras dan benar! Apa urusannya ia bicara tentang Tuhan?”

Kata-kata terakhir yang diucapkan Al-Hallaj adalah “Cinta-Nya adalah pengasingan-Nya.” Kemudian ia membaca sebuah ayat: “Orang-orang yang tidak beriman kepada hari kiamat meminta supaya hari itu segera didatangkan, dan orang-orang yang beriman merasa takut padanya dan mereka yakin bahwa kiamat itu adalah benar (akan terjadi).”

Itulah kata-kata terakhirnya.

Kemudian mereka memotong lidahnya. Baru ketika shalat maghrib tiba mereka memenggal kepalanya. Bahkan saat mereka memenggal kepalanya, Al-Hallaj tersenyum, lalu setelah itu ia meninggal dunia.

Tangisan membahana dari kerumunan orang. Al-Hallaj telah membawa bola takdir ke batas medan tawakal. Tiap potongan tubuhnya menyerukan, “Akulah Kebenaran.”

Keesokan harinya mereka mengatakan, “masalah ini akan bertambah buruk ketimbang saat ia hidup.”

Maka mereka pun membakar jasadnya. Dari abunya pun terdengar seruan, “Akulah Kebenaran.” Bahkan pada saat pembantaiannya, tiap tetes darahnya membentuk nama Allah”.

Mereka tercengang melihat semua itu, lalu mereka membuang abunya ke Sungai Tigris. Abunya mengambang di permukaan sungai Tigris dan terus menyerukan, “Akulah kebenaran.”

Sebelum dieksekusi Al-Hallaj telah berpesan kepada pembantunya, “Saat mereka membuang abu jasadku ke Sungai Tigris, Baghdad akan terancam tenggelam. Hamparkanlah jubahku di sungai, kalau tidak, Baghdad akan hancur.”

Pembantunya, saat melihat apa yang terjadi, membawa jubah Al-Hallaj dan menghamparkannya di tepi Sungai Tigris. Air pun surut dan abu Hallaj pun diam. Kemudian mereka mengumpulkan abunya dan menguburkannya.

Kematian Al-Hallaj merupakan kehilangan besar sekaligus noda hitam dalam dunia tasawuf. Namun pemikirannya tetap hidup terus, tak lekang oleh ruang dan waktu.

AL-Hallaj

Al-Hallaj, Sufi yang Disalib dan Dibakar (Bagian 1)

By admin on February 10, 2012

    Sufi besar ini mempunyai tempat cukup penting dalam dunia tasawuf. Pernyataan-pernyataannya cendrung kontroversial.

Seperti Socrates – fisuf besar Yunani sekian abad sebelum masehi yang harus mati minum racun, Al-Hallaj juga tokoh besar dan filsuf yang dihukum mati karena mempertahankan pendapat dan ajarannya. Mereka sama-sama meninggalkan banyak legenda yang masih dibicarakan orang hingga kini. Lebih penting lagi ialah pemikiran dan gagasan-gagasannya yang brilian. Sudah ratusan buku yang membahas kedua tokoh ini.

Dalam dunia sufi, Al-Hallaj mempunyai kisah tersendiri. Pemikirannya tentang Wahdatul Wujud, yaitu paham yang meyakini bahwa seseorang mampu meleburkan diri ke dalam Dzat Allah, meninggalkan banyak kontroversi. Bahkan sampai sekarangpun perdebatan tentang hal itu belum juga reda. Selain itu Al-Hallaj juga sangat piawai dalam mengemukakan pengalaman spritualnya. Ia bahkan cenderung ekstrim. Jargonnya yang terkenal; Ana al-Haq (aku adalah Tuhan),masih terus menjadi bahan perbincangan yang tiada habis sampai sekarang.

Ia lahir dengan nama Abu Al-Mugis Al-Husain ibnu Mansur al-Baidlawi  pada 858 M / 244 H di Baida, di Provinsi Fars, Iran. Masa remajanya dihabiskan di Kota Tustar, belajar pada Sahal ibnu Abdullah At-Tustari, sufi besar yang terkenal di Tustar. Ketika usianya menginjak 18 tahun, ia pergi ke Basrah, lalu ke Baghdad, ia berguru kepada beberapa guru spritual, seperti Syekh Abdul Husain al-Nurim Syekh Junaid Al-Bagdadi, dan Syekh Amru ibn Usman Al-Makki.

Ketika berguru pada Al-Makki itulah ia mulai mendapat pemahaman tentang Wahdatul Wujud, dan sejak itu ia banyak melontarkan ucapan-ucapan yang kontroversial. Padahal beberapa gurunya sudah berkali-kali melarangnya. Tapi sia-sia. Itu sebabnya ia memilih meninggalkan perguruannya di Basrah, dan kembali ke Baghdad. Di Ibu kota Irak ini ia masuk kembali ke perguruan milik Syekh Junaid Al-Baghdadi. Tapi di sini ia kembali melontarkan ucapan-ucapan yang mengungkapkan rahasia ke-Tuhan-an, walaupun sudah dilarang oleh gurunya.

Meski bagi banyak orang dianggap nyeleneh, Al-Hallaj juga berdakwah. Bahkan ia tidak tanggung-tanggung dalam berdakwah. Misalnya berdakwah sambil mengembara, dari Ahwaz, Khurasan, Turkistan, keluar dari Irak, sampai ke India. Hebatnya dimanapun ia berada selalu elu-elukan karena ilmu agamanya yang tinggi. Kepiawaiannya inilah yang menjadikannya mempunyai banyak pengikut yang balakangan disebut kelompok al-Hallajiyah. Mereka memandang Al-Hallaj sebagai waliyullah yang memiliki kekeramatan.

Dalam beberapa catatan sejarah disebutkan, Al-Hallaj adalah seorang sufi yang sangat tekun beribadah. Dalam ibadahnya yang khusyu’ ia sering mengungkapkan rasa Syathahat, yaitu ungkapan-ungkapan yang kedengarannya ganjil. Hal itu terjadi ketika ia tenggelam dalam Fana, suatu tingkatan kerohanian ketika kesadaran tentang segala sesuatu sirna kecuali hanya kesadaran tentang Allah SWT.

    Dari sinilah muncul ungkapan An al-Haq – yang oleh Al-Hallaj ditafsirkan bahwa  “Aku berada di dalam Dzat Allah.” Bayak ahli tasawuf menafsirkan, ungkapan itu sebenarnya tidak dimaksudkan bahwa dirinya adalah Tuhan. Hal itu tampak dalam sebuah pernyataan, “Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, bukanlah Yang Maha Benar Itu Aku. Aku hanyalah satu dari yang benar. Maka bedakanlah antara aku dan Dia.”

Ia menulis sejumlah kitab dan bait-bait puisi. Dalam legenda Muslim, ia adalah prototipe pencinta yang mabuk kepayang kepada Allah.

Husain ibnu Manshur, yang dijuluki Al-Hallaj (penyortir wol), awalnya pergi menuju Tustar, di sana menjadi pelayan Sahl ibnu Abdullah selama dua tahun, kemudian setelah itu ia bertolak ke Baghdad.

Ia memulai pengembaraannya pada usia 18 tahun. Setelah itu ia pergi Bashrah dan bergabung dengan Amr ibnu Ustman, sampai delapan belas bulan bersamanya. Ia menikah dengan putri Ya’qub Al-Aqta’. Karena pernikahannya dengan Putri Ya’qub itulah membuat Amr ibnu Ustman menjadi tidak senang terhadap Al-Hallaj.

Karena itulah Al-Hallaj pergi meninggalkan Bashrah menuju Baghdad. Di sana ia menemui Junaid. Junaid memberikan syarat kepada Al-Hallaj, bahwa ia harus diam dan mengasingkan diri.

Setelah beberapa lama ia bersama Junaid, ia melanjutkan perjalanannya menuju Hijaz. Ia tinggal di Makkah selama satu tahun. Setelah itu ia kembali lagi ke Baghdad. Bersama sekelompok sufi ia sering menghadiri majelis Junaid dan sering mengajukan pertanyaan kepada Junaid, namun Junaid tidak menjawabnya.

Ketika Junaid menolak menjawab pertanyaan-pertanyaannya, Al-Hallaj merasa kesal dan tanpa pamit ia pergi menuju Tustar. Di sana ia tinggal selama satu tahun dan diterima dengan hangat oleh masyarakat, namun  karena ia sering merendahkan doktrin yang berlaku di tengah masyarakat saat itu, para ulama ulama pun akhirnya merasa jengkel lalu menentangnya.

Al-Hallaj pun sebenarnya sudah jemu dengan tempat itu. Ia lalu mencoba menanggalkan jubah sufinya, dan mengenakan jubah orang kebanyakan, dan menghabiskan hari-harinya bersama orang-orang kebanyakan (duniawi).

Namun upaya ini tidak membawa perubahan apa-apa bagi dirinya. Setelah itu ia menghilang selama lima tahun. Sebagian ia habiskan waktunya di Khurasan, dan Transoxiana, sebagian lagi di Sistan.

Al-Hallaj kemudian kembali ke Ahwaz. Di sana khotbah-khotbahnya mendapat dukungan dari kaum elite dan masyarakat kebanyakan. Ia sering berkhotbah tentang rahasia-rahasia manusia, sehingga ia dijuluki sebagai “Al-Hallaj Sang Rahasia.”

Setelah masa itulah ia mengenakan jubah Darwis yang compang camping lagi dan pergi menuju ke tanah Haram, bersama sekelompok orang dengan pakaian yang serupa. Saat ia tiba di Makkah, Ya’qub Al-Nahrajuri menuduhnya sebagai tukang sihir. Karena tuduhan itulah ia kembali lagi ke Bashrah, lalu ke Ahwaz.

“Sekarang aku akan pergi ke negeri-negeri kaum Polities, untuk menyeru manusia kepada Allah,” tuturnya.

Ia pun pergi ke India, Transoxiana, lalu ke Cina., menyeru manusia kepada Allah dan banyak menulis kitab untuk mereka.

Saat ia kembali dari pengembaraannya ke daerah-daerah itu, masyarakat di daerah-daerah tersebut menulis surat untuknya.

    Orang-orang India memanggilnya Abul Mughis, masyarakat Cina menjulukinya Abul Mu’in, mereka yang di Khurasan mengenalnya sebagai Abul Muhr, orang-orang Parsi memanggilnya Abu Abdullah, masyarakat Khusiztan menjulukinya Al-Hallaj, sang Rahasia, di Bahgdad ia dijuluki sebagai Mustalim, sedangkan di Bashrah ia dikenal sebagai Mukhabbar.

Sekembalinya dari Makkah yang kedua kalinya, keadaannya telah banyak berubah. Ia adalah seorang “manusia baru”, menyeru manusia kepada kebenaran dengan menggunakan istilah-istilah yang sama sekali tidak dipahami oleh seorangpun. Karena itulah, diriwayatkan bahwa ia telah di usir dari lima puluh kota.

Dalam keadaan yang membingungkan seperti itulah, masyarakat terbelah menjadi dua kelompok berkaitan dengan Al-Hallaj, ada yang pro pada pendapatnya, dan ada banyak yang menentangnya. Walaupun mereka banyak yang menyaksikan keajaiban-keajaiban yang dilakukan oleh Al-Hallaj.

“Katakanlah, Dialah Kebenaran,” teriak mereka kepadanya.

“Ya, Dialah segalanya,” jawab Al-Hallaj. “Kalian mengatakan bahwa Dia hilang (tak dapat diindrai). Sebaliknya Husainlah (maksudnya dirinya) yang hilang (fana). Lautan tak akan surut ataupun lenyap.”

Masyarakat melapor kepada Syekh Junaid, “kata-kata Al-Hallaj mengandung makna esoteris.”

“Biarkan ia dieksekusi,” jawab junaid. “Sekarang ini bukanlah saat yang tepat bagi makna-makna esoteris.”

Ia dipenjara oleh Khalifah selama satu tahun. Namun selama dalam tahanan itu, masyarakat sering menjenguk dan menemuinya untuk mengkonsultasikan masalah-masalah mereka. Akhirnya mereka dilarang untuk mengunjungi Al-Hallaj. Setelah itu selama lima bulan tak ada seorangpun yang menemuinya, kecuali Ibnu Atha’ dan Ibnu Khafif.

Pada suatu kesempatan, Ibnu Atha’ mengirimkan pesan kepada Al-Hallaj. “Wahai Syekh, mintalah maaf atas segala ucapanmu agar engkau bisa bebas.”

Al-Hallaj menjawab, “Suruh ia yang mengatakan hal ini untuk meminta maaf.”

Ibnu Atha’ menangis saat mendengar jawaban ini. “Kita bahkan tidak memiliki secuil pun derajat dibanding dengan Al-Hallaj.” Katanya.

Diriwayatkan, pada malam pertama ia dipenjara, para sipir datang ke selnya, namun tidak menemukannya di sana. Mereka mencarinya ke seluruh sudut sel, namun ia tetap tidak ditemukan.

Pada malam kedua, mereka juga tidak menemukan baik Al-Jallaj maupun selnya.

Pada malam ketiga, mereka menemukannya berada di dalam selnya.

Para sipir itu bertanya, “Dimana engkau pada malam pertama, dan dimana engkau bersama sel ini di malam kedua? Kini engkau di sel ini kembali, tanda-tanda apa ini?”

Ia menjawab, “Di malam pertama, aku berada di dalam-Nya, karena itulah aku tidak berada di sini. Pada malam kedua, Dia berada di sini, maka aku dan sel ini pun tiada. Di malam ketiga, aku dikirim kembali, agar hukum dapat ditegakkan, ayo lakukan tugas kalian!”

Saat Al-Hallaj masuk penjara itu, ada tiga ratus orang tahanan lain di sana. Malam itu ia menyapa mereka, “Wahai para tahanan, maukah kalian aku bebaskan?”

“Mengapa tidak engkau bebaskan saja dirimu sendiri?” Tanya mereka.

“Aku adalah tahanan Allah, aku adalah pengawal keselamatan,” jawabnya. “Jika engkau mau, aku dapat melepaskan semua belenggu dengan satu isyarat.”

Al-Hallaj membuat satu isyarat dengan jari telunjuknya, dan semua belenggu mereka pun terbuka, hancul lebur.

“Sekarang bagaimana kita bisa pergi? Tanya para tahanan itu. “Karena pintu sel terkunci.”

Al-Hallaj membuat satu isyarat lagi, dan tembok penjara pun jebol.

“Sekarang pergilah kalian,” pekiknya.

“Engkau tidak ikut?” Tanya mereka.

“Tidak,” jawabnya. “Aku punya sebuah rahasia dengan-Nya yang hanya bisa diungkapkan di tiang gantungan.”

“Keesokan harinya para sipir bertanya padanya, “Kemana perginya para tahanan lainnya?”

“Aku telah membebaskan mereka,” jawab Al-Hallaj dengan santainya.

“Mengapa engkau tidak ikut pergi?” tanya mereka.

“Allah punya alasan untuk mencemoohku, maka aku tidak pergi,” jawabnya.

Kejadian di penjara ini dilaporkan kepada Khalifah. “Akan ada kerusuhan,” pekik Khalifah. “Bunuh dia, atau cambuk dia dengan tongkat sampai dia menarik kembali ucapannya.”

Mereka mencambuknya dengan tongkat sebanyak tiga ratus kali. Setiap kali cambuk mendera tubuhnya, sebuah suara ghaib berkata, “Jangan takut, wahai Ibnu Manshur!”

Kemudian mereka membawanya keluar untuk disalib. Dengan tiga belas belenggu yang berat di tubuhnya, Al-Hallaj melangkah dengan tegap sepanjang jalan, sambil melambaikan tangannya seperti seorang pengembara.

“Mengapa engkau berjalan dengan begitu pongah?” Mereka bertanya.

“Karena aku tengah berjalan menuju pejagalan,” jawabnya. sambil melantunkan bait-bait syait:

    kekasihku tak bersalah

    dieri-Nya aku anggur terbaik seperti Dia

    laksana tuan rumah yang ramah,

    melayani tamunya.

    Dan kala perjamuan telah berakhir,

    Dia menghunus pedang dan kafan pun di gelar-Nya,

    Itulah takdir,

    Bagi ia yang meneguk anggur lama,

    Di musim panas bersama singat tua.

masuk sorga karena rahmat

Tidak Seorang Pun Masuk Surga Karena Amalnya, Melainkan Karena Rahmat Allah
Bismillahirrahmanirrahim...



Berikut ini saya akan berbagi sebuah kisah, kisah ini bersumber dari hasil simakan saya pada waktu pak Ustadz memberikan ceramah taraweh di Masjid. Kisah yang menyentuh dan penuh makna.
Sebuah kisah yang menunjukkan bahwa Tidak seorang pun masuk surga karena amalnya, melainkan karena rahmat Allah SWT

Selamat membaca,

~*~* ~*~* ~*~* ~*~* ~*~*~

Sebuah kisah, hiduplah seorang hamba yang sangat soleh. Dia dikaruniai umur yang sangat panjang yaitu 500 tahun, dan sang hamba tersebut tidak menyia-yiakan hidupnya yang panjang tersebut. Hidupnya betul-betul dia manfaatkan hanya untuk beribadah... beribadah... beribadah kepada Allah SWT. Subhanallah...

Pasti kalian pada bertanya kan,
loh... kalau aktivitas yang dia lakukan tersebut hanya beribadah terus kepada Allah SWT, kapan dia mencari nafkahnya???

Itulah rahmat Allah yang diberikan kepada sang hamba tersebut, Allah melimpahkan harta kekayaan kepada Sang hamba, segala keperluannya di penuhi oleh Allah SWT jadinya sang hamba tidak perlu pusing dengan kebutuhan duniawinya. Siang dan Malam sang hamba terus menerus beribadah hanya kepada Allah SWT.

Sampai akhirnya sang hamba yang teramat sholeh tersebut meninggal dunia.
Singkat cerita, ketika sang hamba tersebut akan dimasukkan ke dalam surga. Allah SWT berkata kepada Malaikat Jibril "Wahai Jibril masukkan hambaku yang sholeh ini ke surga karena Rahmatku".
Lalu sang hamba yang sholeh tersebut berkata "Ya Allah... masukkanlah hamba ke dalam surga karena amalan-amalan yang telah ku kerjakan selama ini".

Allah SWT pun berkata "baiklah, akan kumasukkan kau kedalam surga dikarenakan amalan-amalanmu, tapi sebelum itu aku akan menghisab terlebih dahulu yang mana lebih berat timbangannya amalan ibadah yang kamu lakukan selama 500 tahun ataukah rahmatku yang aku berikan selama 500 tahun ini kepadamu"

Hisab pun dilakukan....
Subhanallah...Allah Maha Menghitung...
Amalan ibadah siang dan malam yang dikerjakan selama 500 tahun oleh sang hamba sholeh tersebut, setelah dihisab tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Rahmat Allah SWT yang dianugerahkan selama ini kepada sang hamba.

Kemudian, Allah berkata kepada Malaikat Jibril : "Wahai Jibril, masukkan orang ini ke neraka karena kesombongan dan keangkuhannya, Tidak seorang pun masuk surga karena amalnya, melainkan karena rahmat Allah".

Sang hamba pun tersadar dan menyesal akan kesombongan dan keangkuhannya. Dan sang hamba pun memohon kepada Allah SWT : "Astagfirullah ya Allah... Ampunilah kekhilafanku... Ampunilah atas kesombongan dan keangkuhanku, jangan masukkan hamba ke neraka, hamba tak sanggup menanggungnya. Ya Allah masukkanlah hamba ke dalam surga di karenakan RahmatMu"

Subhanallah...
Karena Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang serta Maha Pengampun.
Allah pun berkata kepada Malaikat Jibril : "Wahai Jibril, masukkan hambaku ini kedalam surga karena Rahmatku"

~*~* ~*~* ~*~* ~*~* ~*~*~

Pelajaran berharga yang bisa kita petik dari kisah diatas adalah kita jangan menjadi angkuh dan sombong karena merasa diri sholeh, merasa diri suci, merasa diri paling benar agamanya, paling taat ibadahnya, paling tinggi ilmu agamanya sehingga kita merasa dengan amalan-amalan yang telah kita kerjakan tersebut akan memasukkan kita ke dalam surgaNya. Sekali-kali tidak, kita masuk kedalam surga bukan karena amalan kita tapi karena Rahmat Allah, karena kasih sayang yang Allah anugrahkan kepada kita.

Tetapi jangan karena firman Allah  yang mengatakan "Tidak seorang pun masuk surga karena amalnya, melainkan karena rahmat Allah" menjadi dalih bagi diri kita untuk malas beribadah kepadaNya. Jangan salah menafsirkannya, jadikanlah amalan-amalan ibadah yang kita kerjakan tersebut sebagai jembatan untuk mendapatkan Rahmat dari Allah SWT.

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda: Tidak seorang pun di antara kalian yang akan diselamatkan oleh amal perbuatannya. Seorang lelaki bertanya: Engkau pun tidak, wahai Rasulullah? Rasulullah saw. menjawab: Aku juga tidak, hanya saja Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku akan tetapi tetaplah kalian berusaha berbuat dan berkata yang benar. (Shahih Muslim No.5036)

Maka dalam tiap sholatmu berdoalah :
Ya Allah masukkanlah hamba kedalam surga karena rahmatMu bukan karena amalanku

Makna silaturrahim

· Makna silaturrahim

Silaturrahmi tersusun dari dua kosa kata Arab; shilah yang berarti menyambung dan rahim yang berarti rahim wanita, dan dipakai bahasa kiasan untuk makna hubungan kerabat. Jadi silaturrahim bermakna: menyambung hubungan dengan kerabat. Dari keterangan ini, bisa disimpulkan bahwa secara bahasa Arab dan istilah syar’i, penggunaan kata silaturrahim untuk makna sembarang pertemuan atau kunjungan dengan orang-orang yang tidak memiliki hubungan kerabat, sebenarnya kurang pas. 

· Motivasi untuk bersilaturrahim

Silaturrahim bukanlah murni adat istiadat, namun ia merupakan bagian dari syariat. Amat bervariasi cara agama kita dalam memotivasi umatnya untuk memperhatikan silaturrahim. Terkadang dengan bentuk perintah secara gamblang, janji ganjaran menarik, atau juga dengan cara ancaman bagi mereka yang tidak menjalankannya.
Allah ta’ala memerintahkan berbuat baik pada kaum kerabat,
“وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُوراً”.
Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Serta berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman, musafir dan hamba sahaya yang kalian miliki. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri”. QS. An-Nisa’: 36.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menerangkan bahwa silaturrahim merupakan pertanda keimanan seorang hamba kepada Allah dan hari akhir,
“مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ؛ فَلْيَصِلْ رَحِمَه”
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir; hendaklah ia bersilaturrahim”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah.
Beliau jugamenjanjikan bahwa di antara buah dari silaturrahim adalah keluasan rizki dan umur yang panjang,
“مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ؛ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ”.
“Barang siapa menginginkan untuk diluaskan rizkinya serta diundur ajalnya; hendaklah ia bersilaturrahim”. HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik.
Catatan: Hadits tadi seakan kontradiktif dengan firman Allah ta’ala,
“وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاء أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ”.
Artinya: “Setiap umat mempunyai ajal. Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun”. QS. Al-A’raf: 34.
Ada beberapa alternatif penafsiran yang ditawarkan para ulama untuk memadukan antara dua nas di atas. Antara lain:
Pertama: Pengunduran ajal merupakan kiasan dari keberkahan umur. Atau dengan kata lain, silaturrahmi menjadikan seseorang meraih taufik untuk berbuat ketaatan dan menjauhi maksiat; sehingga namanya tetap harum, walaupun telah meninggal dunia. Sehingga seakan-akan ia belum mati.
Kedua: Silaturrahim memang nyata benar-benar menambah umur dan mengundur ajal seseorang. Dan waktu ajal yang dimaksud dalam hadits di atas adalah apa yang tertulis dalam ‘catatan’ malaikat penganggung jawab umur. Sedangkan waktu ajal yang dimaksud dalam ayat adalah apa yang ada dalam ilmu Allah (lauh al-mahfuzh).
Misalnya: malaikat mendapat berita dari Allah bahwa umur fulan 100 tahun jika ia bersilaturrahim dan 60 tahun jika ia tidak bersilaturrahim. Dan Allah telah mengetahui apakah fulan tadi akan bersilaturrahim atau tidak. Waktu ajal yang ada dalam ilmu Allah inilah yang tidak akan ditunda maupun dipercepat, adapun waktu ajal yang ada di ilmu malaikat ini bisa diundur maupun diajukan.
Keterangan tersebut diisyaratkan dalam firman Allah ta’ala,
“يَمْحُو اللّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِندَهُ أُمُّ الْكِتَابِ”.
Artinya: “Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan di sisi-Nya terdapat ummul kitab (Lauh al-Mahfuzh)”. QS. Ar-Ra’du: 39.
Takdir yang masih berpeluang untuk dihapus dan ditetapkan adalah apa yang ada dalam ‘catatan’ malaikat. Adapun takdir yang termaktub dalam lauh al-mahfuzh di sisi Allah maka ini sama sekali tidak akan ada perubahan.
Kembali kepada pembahasan tentang silaturrahmi. Orang yang tidak menjaga tali persaudaraan dia terancam dengan hukuman di dunia maupun di akhirat. Di antara kerugian duniawi yang akan menimpa pemutus tali silaturrahim: dia akan terputus dari kasih sayang Allah, sebagaimana firman-Nya dalam hadits qudsi,
“مَنْ وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ، وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ”.
“Barang siapa menyambungmu (silaturrahmi) maka Aku akan bersambung dengannya, dan barang siapa memutusmu (silaturrahmi); maka Aku akan memutuskan (hubungan)Ku dengannya”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah.
Ganjaran di akhirat bagi pemutus tali silaturrahim lebih mengerikan lagi! Terhalang untuk masuk surga! Na’udzubillahi min dzalik…
Dari Jubair bin Muth’im bahwa Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ”.
“Tidak akan masuk surga pemutus (silaturrahim)”. HR. Bukhari dan Muslim.

· Hakikat silaturrahim

Ganjaran menarik yang dijanjikan untuk orang-orang yang bersilaturrahim tersebut di atas tentu amat menggiurkan, sebaliknya ancaman bagi mereka yang enggan bersilaturrahim juga mengerikan, sehingga tidak mengherankan jika kita dapatkan banyak kaum muslimin yang gemar bersilaturrahim, apalagi di tanah air kita yang adat ketimurannya masih cukup kental. Hanya saja ada sebagian orang merasa bahwa ia telah mempraktekkan silaturrahim, padahal sebenarnya belum. Hal itu bersumber dari kekurangpahaman mereka akan hakikat silaturrahmi. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan,
“لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ، وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا”.
“Penyambung silaturrahmi (yang hakiki) bukanlah orang yang menyambung hubungan dengan kerabat manakala mereka menyambungnya. Namun penyambung hakiki adalah orang yang jika hubungan kerabatnya diputus maka ia akan menyambungnya”. HR. Bukhari dari Abdullah bin ‘Amr.
Sebab kata menyambung mengandung makna menyambungkan sesuatu yang telah putus. Adapun orang yang menjaga hubungan kaum kerabat manakala mereka menjaganya, pada hakikatnya dia bukanlah sedang menyambung hubungan, namun ia hanya mengimbangi atau membalas kebaikan kerabat dengan kebaikan serupa.
Membumikan sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam tersebut di atas dalam kehidupan sehari-hari kita, tentunya bukan suatu hal yang ringan; sebab kita harus mengorbankan perasaan. Bagaimana tidak, sedangkan kita tertuntut untuk berbuat baik terhadap orang yang menyakiti kita, tersenyum pada orang yang cemberut pada kita, memuji orang yang mencela kita, memberi orang yang enggan memberi kita, dan sifat-sifat mulia berat lainnya. Karena itulah ganjaran yang dijanjikan Allah pun besar. Abu Hurairah bercerita,
أَنَّ رَجُلًا قَالَ: “يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي، وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ، وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ!”. فَقَالَ: “لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ، فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنْ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ”
Pernah ada seseorang yang mengadu kepada Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam, “Wahai Rasul, saya memiliki kerabat yang berusaha untuk kusambung namun mereka memutus (hubungan dengan)ku, aku berusaha berbuat baik padanya namun mereka menyakitiku, aku mengasihi mereka namun mereka berbuat jahat padaku!”.
“Andaikan kenyataannya sebagaimana yang kau katakan, maka sejatinya engkau bagaikan sedang memberinya makan abu panas . Dan selama sikapmu seperti itu; niscaya engkau akan senantiasa mendapatkan pertolongan Allah dalam menghadapi mereka”. HR. Muslim.
Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, dalam menyikapi silaturrahim, manusia terbagi menjadi tiga tingkatan:
  • Penyambung hakiki silaturrahim. Yakni mereka yang tetap menyambung silaturrahim manakala diputus.
  • Pembalas ‘jasa’. Yakni mereka yang bersilaturrahmi dengan kerabat yang mau bersilaturrahim padanya dan berbuat baik manakala ia dibaiki.
  • Pemutus silaturrahim.

· Konsekwensi silaturrahim

Silaturrahim bukan hanya diwujudkan dalam bentuk berkunjung ke rumah kerabat atau mengadakan arisan keluarga, namun ia memiliki makna yang lebih dalam dari itu. Silaturrahim memiliki berbagai konsekwensi yang harus dipenuhi seorang insan, di antaranya:
1. Mendakwahi kerabat
Dalam Islam, kerabat mendapatkan prioritas utama untuk didakwahi. Allah ta’ala memerintahkan Nabi-Nya shallallahu’alaihiwasallam di awal masa dakwah beliau,
“وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ”.
Artinya: “Berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat”. QS. Asy-Syu’ara’: 214.
Dengan bahasa yang santun, ingatkanlah kerabat kita yang masih percaya dengan jimat, yang masih gemar pergi ke dukun, yang shalatnya masih bolong-bolong, yang belum berpuasa Ramadhan, yang masih enggan mengeluarkan zakat dan yang semisal. Berbagai nasehat tadi bisa disampaikan kepada yang bersangkutan secara langsung, atau bisa pula ditransfer melalui siraman rohani yang biasa diletakkan di awal rentetan acara arisan atau pertemuan berkala keluarga.
Persaudaraan yang dibumbui dengan budaya saling menasehati inilah yang akan ‘abadi’ hingga di alam akhirat kelak. Adapun persaudaraan yang berkonsekwensi mengorbankan prinsip ini; maka itu hanyalah persaudaraan semu, yang justru di hari akhir nanti akan berbalik menjadi permusuhan. Sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah ta’ala,
“الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ”.
Artinya: “Teman-teman karib pada hari itu (hari kiamat) saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa”. QS. Az-Zukhruf: 67.
2. Saling bantu-membantu
Orang yang membantu kerabat akan mendapat pahala dobel; pahala sedekah dan pahala silaturrahim. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“الصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَهِيَ عَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ؛ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ”.
“Sedekah terhadap kaum miskin (berpahala) sedekah. Sedangkan sedekah terhadap kaum kerabat (berpahala) dobel; pahala sedekah dan pahala silaturrahim”. HR. Tirmidzi dari Salman bin ‘Amir. At-Tirmidzi menilai hadits ini hasan.
Berbuat baik terhadap kerabat, selain berpahala besar, juga merupakan sarana manjur untuk mendakwahi mereka. Andaikan kita rajin menyambung silaturrahim, gemar memberi dan berbagi dengan kerabat, selalu menanyakan kondisi dan kabar mereka, menyertai kebahagiaan dan kesedihan mereka; tentu mereka akan berkenan mendengar omongan kita serta menerima nasehat kita; sebab mereka merasakan kasih sayang dan perhatian ekstra kita pada mereka.
3. Saling memaafkan kesalahan
Dalam kehidupan interaksi sesama kerabat, timbulnya gesekan dan riak-riak kecil antar anggota keluarga merupakan suatu hal yang amat wajar. Sebab manusia merupakan sosok yang tidak lepas dari salah dan alpa. Namun fenomena itu akan berubah menjadi tidak wajar manakala luka yang muncul akibat kekeliruan tersebut tetap dipelihara dan tidak segera diobati dengan saling memaafkan.
Betapa banyak keluarga besar yang terbelah menjadi dua, hanya akibat merasa gengsi untuk memaafkan kesalahan-kesalahan sepele. Padahal karakter pemaaf merupakan salah satu sifat mulia yang amat dianjurkan dalam Islam.
Allah ta’ala berfirman,
“خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ”.
Artinya: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan, serta jangan pedulikan orang-orang jahil”. QS. Al-A’raf: 199.
Namun ada suatu praktek keliru dalam mengamalkan sifat mulia ini yang perlu diluruskan. Yaitu: mengkhususkan hari raya Idhul Fitri sebagai momen untuk saling memaafkan. Jika minta maaf tidak dilakukan di hari lebaran seakan-akan menjadi tidak sah, atau minimal kurang afdhal. Sehingga maraklah acara ‘halal bihalal’ di bulan Syawal. Padahal kita diperintahkan untuk saling memaafkan sepanjang tahun dan tidak menumpuk-numpuk kesalahan setahun penuh, lalu minta maafnya baru di’rapel’ di hari lebaran. Jika belum sempat berjumpa dengan idhul fitri, lalu keburu dipanggil Allah, alangkah malangnya nasib dia di akherat!
Keyakinan tersebut juga berimbas pada ucapan selamat idhul fitri yang serasa kurang jika tidak dibumbui kalimat “mohon maaf lahir batin”. Padahal dahulu para sahabat Nabi shallallahu’alaihiwasallam manakala saling mengucapkan selamat di hari raya, redaksi yang diucapkan adalah: “taqabbalallah minna wa minkum” . Dan kalimat ini jelas lebih sempurna; sebab tidak semata-mata bermuatan ucapan selamat, namun juga mengandung doa agar Allah menerima amalan orang yang mengucapkan selamat maupun yang diberi selamat.  

· Ranjau-ranjau ‘silaturrahim’

Sebelum munculnya agama Islam, dalam adat istiadat komunitas Arab telah dikenal persaudaraan antar kerabat, dan itu juga mereka anggap sebagai salah satu akhlak mulia. Kemudian Islam datang dengan membawa ajaran ‘serupa’ yang diistilahkan dengan silaturrahmi, namun dengan format dan aturan yang lebih sempurna. Sisi-sisi kekurangan dalam ‘silaturrahmi’ versi adat jahiliyah dibenahi, sehingga karakter mulia tersebut semakin terlihat indah dan menarik.
Kita hidup di tanah air yang menjunjung tinggi adat ketimuran. Dalam budaya kita pun menjalin hubungan persaudaraan dikenal sebagai perilaku mulia. Hanya saja praktek sebagian kalangan terkadang menodai ‘kesucian’ silaturrahmi. Sisi-sisi negatif dalam ‘silaturrahmi’ mereka inilah yang penulis istilahkan dengan ‘ranjau silaturrahim’.
Di antara perilaku yang seharusnya dihindari dalam menjalin silaturrahim:
1. Fanatisme
Salah satu musibah besar yang menimpa umat Islam dewasa ini adalah: perpecahan di antara mereka. Di antara faktor terbesar yang menimbulkan perpecahan adalah adanya ‘rumah-rumah’ lain di dalam ‘rumah besar’ Islam. Apalagi manakala hal itu diiringi dengan fanatisme buta sesama anggota rumah-rumah kecil tersebut. Sehingga seakan kebenaran hanyalah ada dalam diri mereka. Padahal sebagai umat Islam kita tidak boleh bersikap fanatik kecuali kepada kebenaran; yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasul shallalahu’alaihiwasallam dengan pemahaman para sahabat Nabi shallallahu’alaihiwasallam.
Paguyuban keluarga juga berpeluang menimbulkan fanatisme tercela, jika tidak senantiasa disuntik arahan agama dan  dipoles sentuhan islami.
2. Lunturnya sikap adil.
Perasaan pakewuh terhadap saudara terkadang menjerumuskan seseorang untuk segan mengucapkan yang haq. Apalagi manakala hal itu ‘merugikan’ saudara sendiri. Contoh nyatanya manakala kita dihadapkan untuk menjadi saksi dalam suatu kasus, yang pelakunya adalah saudara kita sendiri. Manakala kita menyampaikan fakta sebenarnya, hal itu akan mengakibatkan dia mendekam di hotel prodeo dan kerabat lainnya menjauhi kita, namun insyaAllah buahnya kita akan disayang Allah. Sebaliknya jika kita menyembunyikan kebenaran, mungkin saudara kita akan selamat, kita akan disanjung kaum kerabat, namun akibatnya dimurkai Allah.
Dalam kondisi simalakama inilah keimanan kita diuji; apakah akan mementingkan keridhaan Allah atau pujian manusia?
Panutan kita semua; Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mencontohkan sikap adil dalam sabdanya,
“وَايْمُ اللَّهِ! لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا”
“Demi Allah, andaikan putriku Fatimah mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya. HR. Bukhari  (hal. 716 no. 3475) dan Muslim (XI/189 no. 4389) dengan redaksi Bukhari.
3. Berjabat tangan dengan non mahram
Bersalaman merupakan salah satu ibadah mulia yang menjanjikan ganjaran menggiurkan. Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam menerangkan,
“مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا”.
“Tidaklah ada dua orang muslim yang bertemu lalu saling bersalaman, melainkan dosa keduanya akan diampuni sebelum mereka berdua berpisah”. HR. Abu Dawud dari al-Bara’ bin ‘Azib dan dinyatakan sahih oleh al-Albany.
Namun manakala yang diajak bersalaman adalah orang-orang yang sebenarnya tidak boleh kita salami, maka saat itu justru dosalah yang menanti kita.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ”.
“Lebih baik kepala kalian ditusuk dengan jarum dari besi daripada ia memegang wanita yang tidak halal baginya”. HR. Thabarany (XX/212 no. 487) dari Ma’qil bin Yasar dan dinilai kuat oleh al-Mundziry dan al-Albany .
Walaupun dengan alasan menjalin hubungan silaturrahim, praktek di atas tetap tidak bisa dibenarkan. Sebab Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam merupakan sosok yang paling piawai dalam menjalin hubungan silaturrahmi, pun demikian beliau tetap menghindari berjabat tangan dengan wanita non mahram. Bahkan dalam momen sesakral bai’at saja, beliau tidak menjabat tangan kaum mukminat. Sebagaimana diceritakan istri beliau; Aisyah radhiyallahu’anha,
“وَلَا وَاللَّهِ، مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ فِي الْمُبَايَعَةِ, مَا يُبَايِعُهُنَّ إِلَّا بِقَوْلِهِ: قَدْ بَايَعْتُكِ عَلَى ذَلِكِ”.
“Tidak demi Allah, tangan beliau sekalipun tidak pernah menyentuh tangan wanita saat baiat. Beliau hanya membaiat mereka dengan berkata, “Aku telah membaiatmu untuk hal itu”. HR. Bukhari.
Sebagian orang mengira bahwa setiap yang memiliki hubungan kerabat dengannya dikategorikan mahram kita. Hanya orang-orang tertentu saja yang dianggap mahram kita. Di antaranya: golongan yang Allah sebutkan dalam firman-Nya,
“حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ…”.
Artinya: “Diharamkan atas kalian (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara (kandung)mu yang perempuan, saudara-saudara (kandung) ayahmu yang perempuan, saudara-saudara (kandung) ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudara (kandung)mu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudara (kandung)mu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya). (Dan diharamkan bagimu pula) istri-istri anak kandungmu (menantu)…”. QS. An-Nisa: 23.
Tentu tidak mudah menerapkan hal tersebut, apalagi di komunitas yang masih belum begitu memahami aturan syariat ini. Di sinilah kita menyadari betapa besarnya tugas dan kewajiban para ulama, da’i, ustadz, mubaligh atau siapa saja yang telah mengetahui hukum ini, untuk menerangkan hal itu pada masyarakat, dan juga mempraktekkannya. Bukan justru larut dalam arus kebiasaan yang keliru, atau mempertahankan ‘status quo’ yang tidak benar.
Namun demikian, mereka yang telah mengetahui hukum ini dan telah bertekad untuk mempraktekkannya, tatkala menghindari jabat tangan dengan non mahram, hendaklah ia melakukan hal tersebut dengan santun dan lemah lembut, serta diiringi dengan muka yang manis. Dengan harapan hal itu bisa sedikit mencairkan suasana yang barangkali akan terasa kaku. Dia bisa menyatukan kedua tangannya di depan dada, sebagai ungkapan rasa hormatnya kepada yang mengajaknya bersalaman, tanpa harus menyentuh tangan yang di hadapannya. Dengan berjalannya waktu, insyaAllah hubungan yang awalnya akan terasa renggang akan erat kembali. Dan tentunya erat dilandasi syariat…
Semoga tulisan ringkas ini bermanfaat bagi kita untuk lebih memaknai silaturrahim, amien ya rabbal ‘alamien.
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in