Senin, 25 Juni 2012

kehakikian menunaikan haji

Pemaknaan ritual haji yang membingungkan.
Pengalaman pergi haji tahun 2001 menjadikan diri saya sadar bahwa ada sesuatu yang aneh.
Saat di padang  Arofah, saat wukuf ada tiga (3) larangan yang masih saya ingat:
  • Dilarang menyakiti atau bertengkar dengan sesama jamaah. Bahkan mesti meniminalis berbicara. Perbanyak berdzikir
  • Dilarang memotong atau mematahkan ranting pohon
  • Dilarang membunuh hewan
Setelah dari Arofah dilanjutkan perjalanan ke Mina. Semestinya, menurut saya, ke tiga larangan ini berlaku terus, tidak hanya saat di Arofah. Jika ini bisa kita pegang dan dilakoni dalam keseharian, adalah keniscayaan menjadikan diri haji makbrur. Sayang sekali, manusia sering melakukan kelalaian setelahnya….
Yang aneh bagi saya adalah, mengapa setelah itu ada pemotongan hewan kurban? Saya yakin pasti ada yang menyangkal, itu kan sudah hukum untuk memotong hewan. Lha di padang Arofah kita dilarang membunuh hewan, mengapa setelah itu diperintahkan memotong hewan. Bukan kah ini bertentangan. Apakah hanya di pada Arofah ketentuan itu berlaku? Jika ini benar, lantas apa artinya pelarangan pembunuhan hewan di Arofah?
Jika saja saudara-saudara kita yang pergi haji bisa melakukan dan menerapkan ke tiga larangan itu seusai di Arofah, wah pasti tercapai apa yang diwariskan Baginda Rasulullah SAW. Rahmattan lil alamin.
Ke tiga larangan merupakan adab kita tetamu Allah. Bukankah kita di bumi ini sementara? Kita hanya tamu di bumi ini. Jadi menurut pemahaman saya, ritual haji adalah pengingat bahwa sesungguhnyalah kita ini tamu Allah. Allah lah pemilik bumi. So, sebagai tetamu kita jangan merusak. Tapi harus mampu melestarikan segala sesuatu yang kita pergunakan di bumi ini. Ibaratnya kita tinggal di hotel. Sebagai tamu hotel, janganlah kita merusak barang-barang hotel dan membawa pergi.
Ingat kisah seorang di saat Baginda Rasul masih ada. Terdapat seorang umat yang ingin pergi haji. Setelah menabung lama sekali dan uangnya terkumpul untuk pergi ke tanah suci, tiba-tiba kedatangan seorang teman. Kedatangan teman tersebut berniat minta bantuan uang untuk biaya pengobatan ibunya. Saudara kita yang sudah menabung tersebut bersedia memberikan uang hasil tabungan berhaji untuk biaya pengobatan si teman. Ketika hal ini di dengar Baginda Rasul SAW, langsung beliau bersabda: “Si fulan telah memperoleh haji makbrur….” Ternyata bagi Baginda Rasul yang dimaksud haji makbrur adalah terjadinya perubahan sifat. Menjadi orang yang lebih mementingkan sesama yang sedang tertimpa musibah daripada untuk kepentingan diri sendiri.
Masih dari cerita yang indah. Suatu saat ketika Baginda Rasul sedang berjalan bersama para sahabat melihat begitu banyak yang berhaji, salah satu dari sahabat berkata: ” Luar biasa Baginda Rasul, begitu banyak yang menunaikan ibadah haji. Wah semua calon penghuni surga…” Dengan tersenyum lembut penuh kasih, Baginda Rasul menjawab: “Coba tutup matamu…” Dan Baginda Rasul pun mengusapkan tangan beliau ke wajah sahabat tersebut.”Nah sekarang buka matamu dan apa yang kau lihat?” Begitu mata terbuka, terkejutlah sahabat nabi tersebut. Apa gerangan yang dilihat? Sahabat nabi melihat banyak hewan berkaki empat sedang mengelilingi Kaabah. Itulah sifat manusia yang ada di sekitar Kaabah yang sedang thawaf. Baginda Rasulpun bersabda: “Itulah sifat manusia-manusia yang sedang berhaji. Sesungguhnya hanya sedikit yang bisa dikatakan haji makbrur…”
Seperti inikah keadaan kita? Jadi haji TOMAT. Di sana tobat disini kumat.. Bukan haji makbrur, manusia yang sudah berubah mentalitasnya…
Dalam mengelilingi Kaabah saja, saya kira sedikit yang memaknai makna keliling secara berlawanan dengan arah jarum jam. Ketika kita membuka sekrup, kita melakukannya ke arah berlawanan putaran jarum jam. Artinya kita melakukan gerakkan yang melepaskan keterikatan terhadap duniawi. Putaran searah jarum jamadalah putaran yang melekatkan ke duniawian. Ketika kita mengencangkan sekerup, arahnya ke kanan. Berarti semakin kencang terikat ke bumi atau duniawi…. Jadi makna berhaji adalah melepaskan keterikatan jiwa terhadap duniawi. Memiliki tetap boleh tetapi tidak lagi terikat dengan harta benda.
Tidak terikat bukan berarti membuang secara harfiah, tetapi tetap mencari dan mengumpulkan harta duniawi, hanya pikiran tidak lagi dipenuhi nafsu untuk menikmatinya. Badan di dunia, pikiran di akherat…. Inilah yang disebut men-spiritualkan pekerjaan atau mencahari nafkah…
Selamat men-spiritualkan semua kegiatan kita demi kemuliaan jiwa…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar